Kamis, 23 Desember 2010

Asuhan Keperawatan Tonsilitis Kronik

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TONSILITIS KRONIK



KONSEP MEDIS
1. Pengertian
Tonsilitis kronik adalah tonsil yang dapat mengalami peradangan menahun. (M.A. Handerson, Ilmu Bedah untuk Perawat, 1989)
2. Etiologi
Penyebab tonsillitis kronik sama dengan tonsillitis akut yaitu kuman golongan atreptococcus hemolyticus viridans dan streptococcus pyogenes, tetapi kadang-kadang kuman berubah menjadi kuman golongan gram negatif.
Faktor predisposisi timbulnya radang kronik ini ialah yang menahun (misalnya : makanan), pengaruh cuaca, pengobatan radang akut yang tidak adekuat, serta hygiene yang buruk.
3. Gambaran Klinis
Gambaran klinis dari tonsillitis yaitu tonsil membesar dengan adanya hipertropi dan jaringan parut.
Sebagian kripta tampak mengalami stenosis, tapi eksudat yang sering kali purulen.
Gambaran klinis lain yang sering adalah dari tonsil yang kecil biasanya membuat lekukan.
Biakan tonsilia dengan penyakit kronis biasanya menunjukan beberapa organisme yang virulensinya relatif rendah.
Gejala tonsillitis kronik sebagai brikut
a. Keluhan sakit menelan, liur banyak.
b. Panas, sakit kepala, rasa sakit ditelinga
c. Tonsil warna merah dan membengkak.
d. Tonsil tampak bercak kecil dan sumbatan pada kripta (angila lakrimalis) pada tonsillitis folio kuralis bercaknya besar.
e. Bercak tampak bergabung menjadi satu meluas sampai ke arkus varing.
f. Oedem pada arkus varing dan mungkin sampai palatum mole.
g. Sakit tekan pada limforadi.
h. Bercak dapat meluas keseluruh jaringan limfe dilingkaran welldeyer.


4. Patofisiologi
Pada tonsilitis kronik terdapat dua bentuk yaitu hipertroil dan aerotnsil karena proses berulang, maka selain epitel mukosa terkikis, jaringan limfoik diganti oleh jaringan parut. Jaringan parut ini sesuai dengan sifatnya akan mengalami pengerutan. Kelompok jaringan limfoid mengerut, sehingga ruang antara kelompok melebar. Hal ini secara klinik tampak sebagai pelebaran kriptus dan kriptus ini diisi oleh defritus. Proses berjalan terus, sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan disekitar fosa tonsillitis. Pada anak-anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfe sub mandibula.


5. Pathways
Tonsilitis berulang

Epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis

Proses penyembuhan limfoid


6. Komplikasi
Tonsillitis yang tidak segera ditangani/diterapi dapat berkembang menjadi penyakit yang berbahaya.
Komplikasi ke daerah sekitar tonsil berupa
a. Rinitis kronis
b. Sirositis
Komplikasi ke organ yang jauh dari tonsil seperti
Indokarditis ● Artritis
Miositis ● Nefritis, ufeisis
Iridoksitis ● Dermatitis
Pruritis ● Utikaria
Furun kilosis

7. Penatalaksanaan
Pengobatan dan perawatan yang diberikan pada pasien tonsillitis kronik adalah:
a. Tonsilektomi
b. Antibiotika, analgetika/anti panas
c. Makan-makanan yang lembut
d. Makanan yang pedas dan panas dilarang

TONSILEKTOMI
Indikasi tonsilektomi yang penting dapat diterima anak-anak adalah sebagai berikut :
1. Serangan tonsillitis berulang yang tercatat (walaupun telah diberikan penatalaksanaan medis yang adekuat)
2. Tonsilitis berhubungan dengan streptococcus menetap dan patogenik (keadaan karier)
3. Hiperplasia dan obstruksi yang menetap 6 bulan setelah infeksi mononucleosis (biasanya pada dewasa muda)
4. Hiperplasia tonsil yang obstruksi
Kontra indikasi
1. Infeksi pernafasan bagian atas yang berulang
2. Infeksi sistemik
3. Asma
4. Tonus otot yang melemah
5. sinositus


KONSEP KEPERAWATAN
Proses keperawatan terdiri dari 5 tahap (Gebbie and Lavin, 1974) yaitu :
1. Pengkajian
2. diagnosa keperawatan
3. Perencanaan
4. Pelaksanaan
5. Evaluasi

1. PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan. Diperlukan pengkajian yang cermat untuk mengenali masalah klien, agar dapat memberikan arah pada tindakan keperawatan.
Pengkajian data merupakan kegiatan dalam menghimpun informasi data-data dari klien yang meliputi biopsikososial spiritual yang komprehensif. Data dapat dikumpulkan dari berbagai sumber.
Data utama adalah pasien. Data-data tambahan yang dibutuhkan dapat diperoleh dari sumber lain, missal : keluarga, tenaga kesehatan lain, catatan-catatan oleh tenaga kesehatan yang tercatat dalam dokumentasi medis pasien dan hasil pemeriksaan penunjang.
Adapun data yang diperoleh dari pasien tonsillitis :
Data Subyektif
a. Keluhan sakit menelan
b. Sakit kepala
c. Pasien sakit di telinga
d. Pasien sakit tekan di limfoid

Data Obyektif
a. Panas
b. Liur banyak
c. Tonsil tampak memerah
d. Tonsil bengkak
e. Oedema pada arkus faring


2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Beberapa diagnosa keperawatan yang dapat ditemukan pada klien dengan pre atau post operasi tonsillitis antara lain :
a. Resiko terhadap kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan penurunan masukan cairan sekunder terhadap nyeri saat menelan.
b. Resiko terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan penurunan masukan sekunder terhadap nyeri saat menelan.
c. Resiko terhadap ketidakefektifan penatalaksanaan aturan terapeutik yang berhubungan dengan ketidakcukupan pengetahuan tentang komplikasi, penatalaksanaan nyeri, pengaturan posisi dan pembatasan aktivitas.
d. Nyeri berhubungan dengan pembedahan.
e. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan mobilitas fisik terhadap pembedahan.
f. Resiko tinggi terhadap kerusakan penatalaksanaan pemeliharaan dirumah berhubungan dengan kurangya pengetahuan tentang perawatan diri saat pasien pulang.
g. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kejadian pra operasi dan post operasi takut tentang beberapa aspek pembedahan.
h. Resiko tinggi terhadap komplikasi, infeksi berhubungan dengan factor pembedahan

3. PERENCANAAN
Merpakan prioritas, hasil yang diharapkan dari pasien dengan kegiatan keperawatan yang spesifik.
Beberapa diagnosa yang menjadi focus intervensinya adalah :
a. Resiko terhadap kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan penurunan masukan cairan sekunder terhadap nyeri saat menelan.
◊ Rencana tujuan
Klien dapat meningkatkan masukan cairan minimal 2000 ml
◊ Rencana tindakan
○ Kaji perubahan tanda vital, contoh peningkatan suhu tubuh
○ Kaji turgor kulit, kelembaban membran mukosa.
b. Resiko terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan penurunan masukan sekunder nyeri saat menelan.

◊ Rencana tujuan
Klien menunjukan nafsu makan
◊ Rencana tindakan
Beri makanan porsi kecil dan sering atau makanan yang menarik untuk pasien.
c. Resiko terhadap ketidakefektifan penatalaksanaan aturan terapeutik yang berhubungan dengan ketidakcukupan pengetahuan tentang komplikasi, penatalaksanaan nyeri, pengaturan posisi dan pembatasan aktivitas.
◊ Rencana tujuan
Klien dapat menggambarkan proses penyakit, penyebab-penyebab dan factor penunjang pada gejala dan aturan untuk penyakit atau kontrol gejala.
◊ Rencana tindakan
Diskusikan aspek ketidalmampuan dari penyakit, lamanya penyembuhan dan harapan kesembuhan.
d. Nyeri berhubungan dengan pembedahan.
◊ Rencana tujuan
Klien menyatakan nyeri hilang/terkontrol
◊ Rencana tindakan
○ Pantau tanda-tanda vital
○ Berikan tindakan nyaman missal perubahan posisi, musik, relaksasi.
e. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan mobilitas fisik terhadap pembedahan.
◊ Rencana tujuan
Klien berpartisipasi secara fisik dan atau verbal dalam aktivitas.
◊ tentukan tingkat bantuan yang diperlukan.
f. Resiko tinggi terhadap kerusakan penatalaksanaan pemeliharaan dirumah berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang perawatan diri saat pasien pulang.
◊ Rencana tujuan
Klien menyatakan mrngerti tentang instruksi, melaksanakan dengan tepat ketrampilan perawatan diri yang diperlukan, mengidentifikasi bagian-bagian yang memerlukan perawatan.
◊ Rencana tindakan
Ajarkan dan biarkan pasien merawat luka jika penggantian perlu dilakukan di rumah.


g. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kejadian pra operasi dan post operasi, takut tentang beberapa aspek pembedahan.
◊ Rencana tujuan
Mengungkapkan pemahaman tentang kejadian pra operasi dan pasca operasi, melaporkan berkurangnya perasaan cemas atau gugup, ekspresi wajah rileks, kurang bicara.
◊ Rncana tindakan
Jelaskan apa yang terjadi selama periode pra operasi dan pasca operasi termasuk tes laboratorium pra operasi, alas an status puasa.
h. Resiko tinggi terhadap komplikasi, infeksi berhubungan dengan factor pembedahan.
◊ Rencana tujuan
○ Tidak ada infeksi
○ Tidak ada komplikasi
◊ Rencana tindakan
Pantau suhu badan tiap 4 jam, keadaan luka ketika melakukan perawatan.

4. IMPLEMENTASI
Merupakan pelaksanaan perencanaan keperawatan oleh perawat terhadap pasien.
Beberapa petunjuk pada implementasi adalah sebagai berikut :
a. Implementasi dilakukan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi.
b. Dokumenyasi intervensi dan respon klien.

5. EVALUASI
Merupakan tahap akhir dalam proses keperawatan dan menentukan sejauh mana tujuan dapat dicapai.
Evaluasi dilakukan dengan memakai criteria evaluasi, dengan melibatkan klien, keluarga dan anggota tim kesehatan lain.
Evaluasi dikatakan berhasil apabila masalah sudah dapat diatasi dengan kata lain tujuan sudah tercapai sesuai dengan rencana tujuan yang telah ditetapkan.

Asuhan Keperawatan Ventrikel Septum Defek

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN VENTRIKEL SEPTUM DEFEK


A. DEFINISI
Defek Septum Ventrikel adalah kelainan jantung bawaan berupa lubang pada septum interventrikuler, lubang tersebut hanya satu atau lebih yang terjadi akibat kegagalan fungsi septum interventrikuler semasa janin dalam kandungan. Sehingga darah bisa mengalir dari ventrikel kiri ke kanan ataupun sebaliknya.

B. KLASIFIKASI
1. Klasifikasi Defek Septum Ventrikel berdasarkan kelainan Hemodinamik
Defek kecil dengan tahanan paru normal
Defek sedang dengan tahahan vaskuler paru normal
Defek besar dengan hipertensi pulmonal hiperkinetik
Defek besar dengan penyakit obstruksivaskuler paru
2. Klasifikasi Defek Septum Ventrikel berdasarkan letak anatomis
Defek didaerah pars membranasea septum, yang disebut defek membran atau lebih baik perimembran (karena hampir selalu mengenai jaringan di sekitarnya). Berdasarkan perluasan (ekstensi) defeknya, defek peri membran ini dibagi lagi menjadi yang dengan perluasan ke outlet, dengan perluasan ke inlet, dan defek peri membran dengan perluasan ke daerah trabekuler.
Defek muskuler, yang dapat dibagi lagi menjadi : defek muskuler inlet, defek muskuler outlet dan defek muskuler trabekuler.
Defek subarterial, terletak tepat dibawah kedua katup aorta dan arteri pulmonalis, karena itu disebut pula doubly committed subarterial VSD. Defek ini dahulu disebut defek suprakristal, karena letaknya diatas supraventrikularis. Yang terpenting pada defek ini adalah bahwa katup aorta dan katup arteri pulmonalis terletak pada ketinggian yang sama, dengan defek septum ventrikel tepat berada di bawah katup tersebut. (dalam keadaan normal katup pulmonal lebih tinggi daripada katup aorta, sehingga pada defek perimembran lubang terletak tepat di bawah katup aorta namun jauh dari katup pulmonal)

C. ETIOLOGI
Lebih dari 90% kasus penyakit jantung bawaan penyebabnya adalah multifaktor. Faktor yang berpengaruh adalah :
1. Faktor eksogen : ibu mengkonsumsi beberapa jenis obat penenang dan jamu. Penyakit ibu (penderita rubella, ibu menderita IDDM) dan Ibu hamil dengan alkoholik.
2. Faktor endogen : penyakit genetik (Sindrom Down), anak yang lahir sebelumnya menderita PJB, ayah dan ibu menderita PJB dan lahir dengan kelainan bawaan yang lain.

D. GAMBARAN KLINIS
1. VDS Kecil
a. Biasanya asimtomatik
b. Defek kecil 5 – 10 mm
c. Tidak ada gangguan tumbang
d. Bunyi jantung normal, kadang ditemukan bising pansistolik yang menjalar keseluruh tubuh prekardium dan berakhir pada waktu diastolik karena terjadi penurunan VSD
2. VSD Sedang
a. Sesak nafas pada saat aktivitas
b. Defek 5 – 10 mm
c. BB sukar naik sehingga tumbang terganggu
d. Takipnoe
e. Retraksi
f. Bentuk dada normal
g. Bising pansistolik

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Auskultasi jantung  mur-mur pansistolik keras dan kasar , umumnya paling jelas terdengar pada tepi kiri bawah sternum
Pantau tekanan darah
Foto rontgen toraks  hipertrofi ventrikel kiri
Elektrocardiografi
Echocardiogram  hipertrofi ventrikel kiri
MRI

E. KOMPLIKASI
Gagal jantung
Endokarditis
Insufisiensi aorta
Stenosis pulmonal
Hipertensi pulmonal (penyakit pembuluh darah paru yang progresif)

F. PENATALAKSANAAN MEDIS
Pembedahan :
menutup defek dengan dijahit melalui cardiopulmonary bypass
pembedahan Pulmonal Arteri Bunding (PAB) atau penutupan defek untuk mengurangi aliran ke paru.
Non pembedahan : menutup defek dengan alat melalui kateterisasi jantung
Pemberian vasopresor atau vasodilator :
1. Dopamin ( intropin )
Memiliki efek inotropik positif pada miocard, menyebabkan peningkatan curah jantung dan peningkatan tekanan sistolik serta tekanan nadi , sedikit sekali atau tidak ada efeknya pada tekanan diastolik ;digunakan untuk gangguan hemodinamika yang disebabkan bedah jantung terbuka (dosis diatur untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi ginjal)
2. Isopreterenol ( isuprel )
Memiliki efek inotropik positif pada miocard, menyebabkan peningkatan curah jantung : menurunan tekanan diastolik dan tekanan rata-rata sambil meningkatkan tekanan sisitolik.

ASUHAN KEPERAWATAN

Dalam diagnosa keperawatan, perlu dilakukan pengkajian data dari hasil :
Anamnesa
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Dari hasil pengkajian tersebut, data yang diperoleh adalah masalah yang dialami klien
Penyebab timbulnya keluhan
Informasi tentang kelainan struktur dan fungsi jantung atau pembuluh darah
Informasi tentang kekuatan jantung dan aktivitas klien yang tidak memperberat kerja jantung

Anamnesa
Hal-hal yang perlu diungkapkan dalam melakukan anamnesa adalah :
1. Riwayat perkawinan
Pengkajian apakah anak ini diinginkan atau tidak, karena apabila anak tersebut tidak diinginkan kemungkinan selama hamil ibu telah menggunakan obat-obat yang bertujuan untuk menggugurkan kandungannya
2. Riwayat kehamilan
Apakah selama hamil ibu pernah menderita penyakit yang dapat mempengaruhi proses pertumbuhan janin, seperti hipertensi, diabetus melitus atau penyakit virus seperti rubella khususnya bila terserang pada kehamilan trisemester pertama.
3. Riwayat keperawatan
Respon fisiologis terhadap defek ( sianosisi, aktivitas terbatas )
4. Kaji adanya tanda-tanda gagal jantung: nafas cepat, sesak nafas, retraksi, bunyi jantung tambahan ( mur-mur ), edema tungkai dan hepatomegali )
5. Kaji adanya tanda-tanda hipoxia kronis : clubbing finger
6. Kaji pola makan, pola pertambahan berat badan
7. Apakah diantara keluarga ada yang menderita penyakit yang sama
8. Apakah ibu atau ayah perokok (terutama selama hamil)
9. Apakah ibu atau ayah pernah menderita penyakit kelamin (seperti sipilis)
10. Sebelum hamil apakah ibu mengikuti KB dan bentuk KB yang pernah digunakan
11. Obat-obat apa saja yang pernah dimakan ibu selama hamil
12. Untuk anak sendiri apakah pernah menderita penyakit demam reumatik
13. Apakah ada kesulitan dalam pemberian makan atau minum khususnya pada bayi
14. Obat-obat apa saja yang pernah dimakan anak

Diagnosa Keperawatan
1. Penurunan curah jantung yang berhubungan dengan malformasi jantung.
Tujuan : meningkatkan curah jantung
Kriteria Hasil : anak akan menunjukkan tanda-tanda membaiknya curah jantung
Intervensi :
Observasi kualitas dan kekuatan denyut jantung, nadi perifer, warna dan kehangatan kulit.
Tegakkan derajad sinosis ( sirkumoral, membran mukosa, clubbing)
Monitor tanda-tanda CHF ( gelisah, takikardi, tacipnea, sesak, lelah saat minum susu, periorbotal edema, oliguri dan hepatomegali )
Berkolaborasi dalam pemberian digoxin sesuai order dengan menggunakan teknik pencegahan bahaya toxisitas.
Berikan pengobatan untuk menurunkan afterload
Berikan diuretik sesuai indikasi


2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kongesti pulmonal.
Tujuan : meningkatkan resisitensi pembuluh paru
Kriteria Hasil : anak akan menunjukkan tanda-tanda tidak adanya peningkatan resistensi pembuluh paru
Intervensi :
Monitor kualitas dan irama pernafasan
Atur posisi anak dengan posisi fowler
Hindari anak dari orang yang terinfeksi
Berikan istirahat yang cukup
Berikan nutrisi yang optimal
Berikan oksigen jika ada indikasi
3. Tidak toleransi terhadap aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara pemakaian oksigen oleh tubuh dan suplay oksigen ke sel.
Tujuan : mempertahankan tingkat aktivitas yang adekuat
Kriteria Hasil : anak akan mempertahankan tingkat aktivitas yang adekuat dan anak akan berpartisipasi dalam aktivitas yang dilakukan oleh seusianya
Intervensi :
Ijinkan anak untuk sering beristirahat dan hindari gangguan pada saat tidur
Anjurkan untuk melakukan permainan dan aktivitas ringan
Bantu anak untuk memilih aktivitas yang sesuai dengan usia, kondisi dan kemampuan anak
Berikan periode istirahat setelah melakuakan aktivitas
Hindarkan suhu lingkungan yang terlalu panas atau dingin
Hindarkan hal-hal yang menyebabkan ketakutan kecemasan pada anak.
4. Perubahan pertumbuhan dan perkembanganberhubungan dengan tidak adekuatnya suplai oksigen dan zat nutrisi ke jaringan
Tujuan : mempertahankan pertumbuhan berat badan yang sesuai
Kriteria Hasil : anak akan tumbuh sesuai dengan kurva pertumbuhan berat badan dan tinggi badan
Intervensi :
Sediakan diet yang seimbang, tinggi zat-zat nutrisi untuk mencapai pertumbuhan yang adekuat
Monitor tinggi dan berat badan, dokumentasikan dalam bentuk grafik untuk mengetahui kecenderungan pertumbuhan anak
5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelelahan pada saat makan dan meningkatnya kebutuhan kalori
Tujuan : mempertahankan intake makanan dan minuman untuk mempertahankan berat badan dan menopang pertumbuhan
Kriteria Hasil : anak akan mempertahankan intake makanan dan minuman untuk mempertahankan berat badan dan menopang pertumbuhan
Intervensi :
Timbang berat badan setiap hari dengan timbangan yang sama dan waktu yang sama
Catat intake dan output secara benar
Berikan makanan dengan porsi kesil tapi sering untuk menghindari kelelahan pada saat makan
Hindari kegiatan perawatan yang tidak perlu
Pertahankan nutrisi dengan mencegah kekurangan kalium, natrium dan memberikan zat gizi
Sediakan diet yang seimbang, tinggi zat nutrisi untuk mencapai pertumbuhan yang adekuat
Anak-anak yang mendapatkan diuretik biasanya sangat haus, oleh karena itu cairan tidak dibatasi.
6. Resiko infeksi berhubungan dengan menurunnya status kesehatan.
Tujuan : mencegah terjadinya infeksi
Kriteria Hasil : anak tidak akan menunjukkan tanda-tanda infeksi
Intervensi :
Hindari kontak dengan individu yang terinfeksi
Berikan istirahat yang adekuat
Berikan kebutuhan nutrisi yang optimal

7. Perubahan peran orangtua berhubungan dengan hospitalisasi anak, kekhawatiran terhadap peyakit anak.
Tujuan : memberikan dukungan pada orang tua
Kriteria Hasil : orang tua akan mengekspresikan perasaannya karena memiliki anak denan kelainan jantung, mendiskusikan rencana pengobatan dan memiliki keyakinan bahwa orang tua memiliki peranan penting dalam keberhasilan pengobatan
Intervensi :
Ajarkan orang tua untuk mengeskpresikan perasaannya akibat memiliki anak dengan kelainan jantung, mendiskusikan rencana pengobatan dan memiliki keyakinan bahwa orang tua memiliki peranan penting dalam keberhasilana pengbatan
Eksplorasi perasaan orang tua mengenai perasaan ketakutan, rasa bersalah, berduka dan perasaan tidak mampu
Mengurangi ketakutan dan kecemasan orang tua dengan memberikan informasi yang jelas
Libatkan orang tua dalam perawatan anak selama di rumah sakit
Memberikan dorongan kepada keluarga untuk melibatkan anggota keluarga yang lain dalam perawatan anak.

Perencanaan pemulangan
1. Kontrol sesuai waktu yang ditentukan
2. Jelaskan aktivitas yang dapat dilakukan anak sesuia dengan usia dan kondisi penyakit
3. Mengajarkan keterampilan yang diperlukan di rumah, yaitu :
Tehnik pemberian obat
Tehnik pemberian makanan
Tindakan untuk mengatasi jika terjadi hal-hal ynag mencemaskan
Tanda-tanda komplikasi, siapa yang akan dihubungi jika membutuhkan pertolongan





SUMBER PUSTAKA

Suriadi, Rita yuliani, (2001). Asuhan Keperawatan Pada Anak, jakarta : CV. Sagung Seto .
Heni Rokhaeni, Elly Purnamasari, (2001). Buku Ajar Keperawatan Kardiovaskuler, jakarta : Pusat Kesehatan jantung dan Pembuluh Darah Nasional “ Harapan Kita “.
Corwin, Elizabeth J, (200). Buku Saku Patofisiologi, alih bahasa Brahm U Pendit jakarta : EGC
Markum A.H, (1991), Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FKUI.
Doenges, Marilynn E, (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Edisi 3. Jakarta : EGC.
R. Sjamsuhidajat & Wim de Jong, (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta : EGC.
Nettina, Sandra M, (2001). Pedoman Praktik Keperawatan, alih bahasa Setiawan,Sari Kurnianingsih, Monica Ester, jakarta : EGC.
Carpenito Linda Juall, (1997). Buku Saku Diagnosa Keperawatan, edisi 6, jakarta.
M. Tucker, martin, (1998). Standart Perawatan Pasien : Proses Keperawatan, Diagnosis dan Evaluasi.Edisi V. Volume 3. Jakarta. EGC.

Asuhan Keperawatan Urolithiasis

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN UROLITHIASIS


Pengertian
Urolithiasis adalah suatu keadaan terjadinya penumpukan oksalat, calculi (batu ginjal) pada ureter atau pada daerah ginjal. Urolithiasis terjadi bila batu ada di dalam saluran perkemihan. Batu itu sendiri disebut calculi. Pembentukan batu mulai dengan kristal yang terperangkap di suatu tempat sepanjang saluran perkemihan yang tumbuh sebagai pencetus larutan urin. Calculi bervariasi dalam ukuran dan dari fokus mikroskopik sampai beberapa centimeter dalam diameter cukup besar untuk masuk dalam velvis ginjal. Gejala rasa sakit yang berlebihan pada pinggang, nausea, muntah, demam, hematuria. Urine berwarna keruh seperti teh atau merah.

Faktor – faktor yang mempengaruhi pembentukan batu
a. Faktor Endogen
Faktor genetik, familial, pada hypersistinuria, hiperkalsiuria dan hiperoksalouria.

b. Faktor Eksogen
Faktor lingkungan, pekerjaan, makanan, infeksi dan kejenuhan mineral dalam air minum.

c. Faktor lain
a) Infeksi
Infeksi Saluran Kencing (ISK) dapat menyebabkan nekrosis jaringan ginjal dan akan menjadi inti pembentukan Batu Saluran Kencing (BSK) Infeksi bakteri akan memecah ureum dan membentuk amonium yang akan mengubah pH Urine menjadi alkali.

b) Stasis dan Obstruksi Urine
Adanya obstruksi dan stasis urine akan mempermudah Infeksi Saluran Kencing.

c) Jenis Kelamin
Lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding wanita dengan perbandingan 3 : 1

d) Ras
Batu Saluran Kencing lebih banyak ditemukan di Afrika dan Asia.

e) Keturunan
Anggota keluarga Batu Saluran Kencing lebih banyak mempunyai kesempatan

f) Air Minum
Memperbanyak diuresis dengan cara banyak minum air akan mengurangi kemungkinan terbentuknya batu, sedangkan kurang minum menyebabkan kadar semua substansi dalam urine meningkat.

g) Pekerjaan
Pekerja keras yang banyak bergerak mengurangi kemungkinan terbentuknya batu dari pada pekerja yang lebih banyak duduk.

h) Suhu
Tempat yang bersuhu panas menyebabkan banyak mengeluarkan keringan.

i) Makanan
Masyarakat yang banyak mengkonsumsi protein hewani angka morbiditas Batu Saluran Kencing berkurang. Penduduk yang vegetarian yang kurang makan putih telur lebih sering menderita Batu Saluran Kencing (buli-buli dan Urethra).

Patogenesis
Sebagian besar Batu Saluran Kencing adalah idiopatik, bersifat simptomatik ataupun asimptomatik.

Teori Terbentuknya Batu
a. Teori Intimatriks
Terbentuknya Batu Saluran Kencing memerlukan adanya substansi organik Sebagai inti. Substansi ini terdiri dari mukopolisakarida dan mukoprotein A yang mempermudah kristalisasi dan agregasi substansi pembentukan batu.
b. Teori Supersaturasi
Terjadi kejenuhan substansi pembentuk batu dalam urine seperti sistin, santin, asam urat, kalsium oksalat akan mempermudah terbentuknya batu.
c. Teori Presipitasi-Kristalisasi
Perubahan pH urine akan mempengaruhi solubilitas substansi dalam urine. Urine yang bersifat asam akan mengendap sistin, santin dan garam urat, urine alkali akan mengendap garam-garam fosfat.
d. Teori Berkurangnya Faktor Penghambat
Berkurangnya Faktor Penghambat seperti peptid fosfat, pirofosfat, polifosfat, sitrat magnesium, asam mukopolisakarida akan mempermudah terbentuknya Batu Saluran Kencing.

PENGKAJIAN DATA DASAR
1. Riwayat atau adanya faktor resiko
a. Perubahan metabolik atau diet
b. Imobilitas lama
c. Masukan cairan tak adekuat
d. Riwayat batu atau Infeksi Saluran Kencing sebelumnya
e. Riwayat keluarga dengan pembentukan batu

2. Pemeriksaan fisik berdasarka pada survei umum dapat menunjukkan :
a. Nyeri. Batu dalam pelvis ginjal menyebabkan nyeri pekak dan konstan. Batu ureteral menyebabkan nyeri jenis kolik berat dan hilang timbul yang berkurang setelah batu lewat.
b. Mual dan muntah serta kemungkinan diare
c. Perubahan warna urine atau pola berkemih, Sebagai contoh, urine keruh dan bau menyengat bila infeksi terjadi, dorongan berkemih dengan nyeri dan penurunan haluaran urine bila masukan cairan tak adekuat atau bila terdapat obstruksi saluran perkemihan dan hematuri bila terdapat kerusakan jaringan ginjal

3. Pemeriksaan Diagnostik
a. Urinalisa : warna : normal kekuning-kuningan, abnormal merah menunjukkan hematuri (kemungkinan obstruksi urine, kalkulus renalis, tumor,kegagalan ginjal). pH : normal 4,6 – 6,8 (rata-rata 6,0), asam (meningkatkan sistin dan batu asam urat), alkali (meningkatkan magnesium, fosfat amonium, atau batu kalsium fosfat), Urine 24 jam : Kreatinin, asam urat, kalsium, fosfat, oksalat, atau sistin mungkin meningkat), kultur urine menunjukkan Infeksi Saluran Kencing , BUN hasil normal 5 – 20 mg/dl tujuan untuk memperlihatkan kemampuan ginjal untuk mengekskresi sisa yang bemitrogen. BUN menjelaskan secara kasar perkiraan Glomerular Filtration Rate. BUN dapat dipengaruhi oleh diet tinggi protein, darah dalam saluran pencernaan status katabolik (cedera, infeksi). Kreatinin serum hasil normal laki-laki 0,85 sampai 15mg/dl perempuan 0,70 sampai 1,25 mg/dl tujuannya untuk memperlihatkan kemampuan ginjal untuk mengekskresi sisa yang bemitrogen. Abnormal (tinggi pada serum/rendah pada urine) sekunder terhadap tingginya batu obstruktif pada ginjal menyebabkan iskemia/nekrosis.
b. Darah lengkap : Hb, Ht, abnormal bila pasien dehidrasi berat atau polisitemia.
c. Hormon Paratyroid mungkin meningkat bila ada gagal ginjal (PTH merangsang reabsorbsi kalsium dari tulang, meningkatkan sirkulasi serum dan kalsium urine.
d. Foto Rontgen : menunjukkan adanya calculi atau perubahan anatomik pada area ginjal dan sepanjang uriter.
e. IVP : memberikan konfirmasi cepat urolithiasis seperti penyebab nyeri abdominal atau panggul. Menunjukkan abnormalitas pada struktur anatomik (distensi ureter).
f. Sistoureteroskopi : visualisasi kandung kemih dan ureter dapat menunjukkan batu atau efek ebstruksi.
g. USG Ginjal : untuk menentukan perubahan obstruksi dan lokasi batu.

Penatalaksanaan
a. Menghilangkan Obstruksi
b. Mengobati Infeksi
c. Menghilangkan rasa nyeri
d. Mencegah terjadinya gagal ginjal dan mengurangi kemungkinan terjadinya rekurensi.
Komplikasi
a. Obstruksi Ginjal
b. Perdarahan
c. Infeksi
d. Hidronefrosis

Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
1. Gangguan rasa nyaman (nyeri pada daerah pinggang) berhubungan dengan cedera jaringan sekunder terhadap adanya batu pada ureter atau pada ginjal
2. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan adanya obstruksi (calculi) pada renal atau pada uretra.
3. Kecemasan berhubungan dengan kehilangan status kesehatan.
4. Kurangnya pengetahuan tentang sifat penyakit, tujuan tindakan yang diprogramkan dan pemeriksaan diagnostik berhubungan dengan kurangnya informasi.

II. PERENCANAAN TINDAKAN PERAWATAN

TGL DIAGNOSA KEPERAWATAN/DATA PENUNJANG TUJUAN/KRITERIA RENCANA TINDAKAN RASIONAL NAMA PERAWAT / MAHASISWA
1 April 2002 Gangguan rasa nyaman (nyeri pada daerah pinggang) berhubungan dengan cedera jaringan sekunder terhadap adanya batu pada ureter atau pada ginjal
Data Penunjang :
- Kolik yang berlebihan
- Lemes, mual, muntah, keringat dingin
- Pasien gelisah Tujuan :
Rasa sakit dapat diatasi/hilang
Kriteria :
- Kolik berkurang/hilang
- Pasien tidak mengeluh nyeri
- Dapat beristirahat dengan tenang - Kaji intensitas, lokasi dan tempat/area serta penjalaran dari nyeri.


- Observasi adanya abdominal pain

- Kaji adanya keringat dingin, tidak dapat istirahat dan ekspresi wajah.
- Jelaskan kepada pasien penyebab dari rasa sakit/nyeri pada daerah pinggang tersebut.
- Anjurkan pasien banyak minum air putih 3 – 4 liter perhari selama tidak ada kontra indikasi.
- Berikan posisi dan lingkungan yang tenang dan nyaman.
- Ajarkan teknik relaksasi, teknik distorsi serta guide imagine
- Kolaborasi dengan tim dokter :
Pemberian Cairan Intra Vena


Pemberian obat-obatan Analgetic, Narkotic atau Anti Spasmodic.


- Observasi tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian obat-obat Narkotic, Analgetic dan Anti Spasmodic. - Peningkatan nyeri adalah indikatif dari obstruksi, sedangkan nyeri yang hilang tiba-tiba menunjukkan batu bergerak. Nyeri dapat menyebabkan shock.
- Kemungkinan adanya penyakit/komplikasi lain.
- Kemungkinan salah satu tanda shock

- Memberikan informasi tentang penyebab dari rasa sakit/nyeri pada daerah pinggang tersebut.
- Cairan membantu membesihkan ginjal dandapat mengeluarkan batu kecil.

- Untuk mengurangi sumber stressor

- Untuk mengurangi/menghilang kan nyeri tanpa obat-obatan

Untuk memudahkan pemberian obat serta pemenuhan cairan bila mual, muntah dan keringat dingin terjadi.
Analgetik memblok lintasan nyeri sehingga mengurangi nyeri/kolik yang berlebihan

- Untuk mengetahui efek samping yang tidak diharapkan dari pemberian obat-obatan tersebut.




























S u b h a n

2 April 2002. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan adanya obstruksi (calculi) pada renal atau pada uretra.
Data Penunjang :
Urine out put  30 cc per jam
Daerah perifer dingin pucat
TD  100/70 mmHg,
HR > 120 X/mt,
RR > 28 X/mt.
Pengisian kapiler > 3 detik Tujuan :
Gangguan perfusi dapat diatasi
Kriteria :
- Produksi urine 30 – 50 cc perjam.
- Perifer hangat
- Tanda-tanda vital dalam batas normal :
Sistolik 100 – 140 mmHg.
Diastolik 70 – 90 mmHg.
Nadi 60 – 100 X/mt
Pernafasan 16 – 24 X/mt
- Pengisian kapiler  3 detik - Observasi tanda-tanda vital (nadi, tekanan darah dan pernafasan).
- Observasi Produksi urine setiap jam.

- Observasi perubahan tingkat kesadaran.
- Kolaborasi dengan tim kesehatan:
Pemeriksaan laboratorium : kadar ureum/kreatinin, Hb, urine HCT.
Pemberian diet rendah protein, rendah kalsium dan posfat
Pemberian ammonium chloride dan mandelamine. - Untuk mendeteksi dini terhadap masalah
- Untuk mendeteksi dini terhadap masalah
- Untuk mendeteksi dini terhadap masalah
Untuk mendeteksi dini terhadap masalah
Untuk mencegah/ mengurangi masalah
Untuk mencegah/ mengurangi masalah

















S u b h a n

3 April 2002. Kecemasan berhubungan dengan kehilangan status kesehatan.
Data Penunjang :
- Ekspresi wajah tegang, gelisah, tidak bisa tidur.
- Tidak kooperatif dalam pengobatan.
- HR = 125 X/mt Tujuan :
Rasa cemas dapat diatasi/berkurang.
Kriteria :
- Pasien dapat nenyatakan kecemasan yang dirasakan.
- Pasien dapat beristirahat dengan tenang.
- Nadi dalam batas normal.
- Ekspresi wajah ceria/rileks. - Berikan dorongan terhadap tiap-tiap proses kehilangan status kesehatan yang timbul.
- Berikan privacy dan lingkungan yang nyaman.
- Batasi staf perawat/petugas kesehatan yang menangani pasien.
- Observasi bahasa non verbal dan bahasa verbal dari gejala-gejala kecemasan.
- Temani pasien bila gejala-gejala kecemasan timbul.
- Berikan kesempatan bagi pasien untuk mengekspresikan perasaannya .

- Hindari konfrontasi dengan pasien.
- Berikan informasi tentang program pengobatan dan hal-hal lain yang mencemaskan pasien.
- Lakukan intervensi keperawatan dengan hati-hati dan lakukan komunikasi terapeutik.
- Anjurkan pasien istirahat sesuai dengan yang diprogramkan.
- Berikan dorongan pada pasien bila sudah dapat merawat diri sendiri untuk meningkatkan harga dirinya sesuai dengan kondisi penyakit.
- Hargai setiap pendapat dan keputusan pasien. - Untuk mengurangi rasa cemas


- privacy dan lingkungan yang nyaman dapat mengurangi rasa cemas.
- Untuk dapat lebih memberikan ketenangan.
- Untuk mendeteksi dini terhadap masalah
- Untuk mengurangi rasa cemas

- Kemampuan pemecahan masalah pasien meningkat bila lingkungan nyaman dan mendukung diberikan.
- Untuk mengurangi ketegangan pasien
- Informasi yang diberikan dapat membantu mengurangi kecemasan/ansietas
- Untuk menghindari kemungkinan yang tidak diinginkan

- Untuk mengurangi ketegangan dan kecemasan pasien
- Untuk mengurangi ketergantungan pasien


- Untuk meningkatkan harga diri pasien.



























S u b h a n

4 April 2002. Kurangnya pengetahuan tentang sifat penyakit, tujuan tindakan yang diprogramkan dan pemeriksaan diagnostik berhubungan dengan kurangnya informasi.
Data Penunjang :
- Pasien menyatakan belum memahami tentang penyakitnya.
- Pasien bertanya-tanya tentang proses penyakit dan pengobatan.
- Pasien kurang kooperatif dalam program pengobatan Tujuan :
Pengetahuan pasien tentang penyakitnya meningkat
Kriteria
- Pasien dapat menjelaskan kembali tentang sifat penyakit, tujuan tindakan yang diprogramkan dan pemeriksaan diagnostik.
- Pasien tidak bertanya lagi tentang keadaan penyakit dan program pengobatannya.
- Pasien kooperatif dalam program pengobatan. - Kaji tingkat pengetahuan pasien dan keluarga tentang penyakit dan pengobatannya.
- Berikan penjelasan tentang penyakit, tujuan pengobatan dan program pengobatan.
- Berikan kesempatan pasien dan keluarga untuk mengekspresikan perasaannya dan mengajukan pertanyaan terhadap hal-hal yang belum dipahami.
- Diskusikan pentingnya banyak minum air putih 3 – 4 liter perhari selama tidak ada kontra indikasi.

- Diskusikan tentang pentingnya diet rendah protein, rendah kalsium dan posfat.
- Batasi aktifitas fisik yang berat. - Pengetahuan membantu mengembangkan kepatuhan pasien dan keluarga terhadap rencana terapeutik
- Untuk menambah pengetahuan pasien


- Meningkatkan kemampuan pasien untuk memecahkan masalah



- Untuk menambah pengetahuan pasien bahwa cairan dapat membantu pembersihan ginjal dan dapat mengeluargan batu kecil
- Untuk menambah pengetahuan pasien dan mencegah kekambuhan

- Untuk mencegah kekambuhan




DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Linda Jual. (1995). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan (terjemahan). PT EGC. Jakarta.

Doenges, et al. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan (terjemahan). PT EGC. Jakarta.

Engram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume I (terjemahan). PT EGC. Jakarta.

Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I. (terjemahan).Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran. Bandung.

Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta.

Asuhan Keperawatan Trauma Abdomen

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TRAUMA ABDOMEN


Insiden trauma abdomen meningkat dari tahun ke tahun. Mortalitas biasanya lebih tinggi pada trauma tumpul abdomen dari pada trauma tusuk. Walaupun tehnik diagnostik baru sudah banyak dipakai, misalnya Computed Tomografi, namun trauma tumpul abdomen masih merupakan tantangan bagi ahli klinik.
Diagnosa dini diperlukan untuk pengelolaan secara optimal. Evaluasi awal sangat bermanfaat tetapi terkadang cukup sulit karena adanya jejas yang tidak jelas pada area lain yang terkait.

PATOFISIOLOGI
Jejas pada abdomen dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam. Pada trauma tumpul dengan velisitas rendah (misalnya akibat tinju) biasanya menimbulkan kerusakan satu organ. Sedangkan trauma tumpul velositas tinggi sering menimbulkan kerusakan organ multipel, seperti organ padat ( hepar, lien, ginjal ) dari pada organ-organ berongga. (Sorensen, 1987)

Yang mungkin terjadi pada trauma abdomen adalah :

Perforasi
Gejala perangsangan peritonium yang terjadi dapat disebabkan oleh zat kimia atau mikroorganisme. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya lambung, maka terjadi perangsangan oleh zat kimia segera sesudah trauma dan timbul gejala peritonitis hebat.
Bila perforasi terjadi di bagian bawah seperti kolon, mula-mula timbul gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak. Baru setelah 24 jam timbul gejala-gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum.
Mengingat kolon tempat bakteri dan hasil akhirnya adalah faeses, maka jika kolon terluka dan mengalami perforasi perlu segera dilakukan pembedahan. Jika tidak segera dilakukan pembedahan, peritonium akan terkontaminasi oleh bakteri dan faeses. Hal ini dapat menimbulkan peritonitis yang berakibat lebih berat.

Perdarahan
Setiap trauma abdomen (trauma tumpul, trauma tajam, dan tembak) dapat menimbulkan perdarahan. Yang paling banyak terkena robekan pada trauma adalah alat-alat parenkim, mesenterium, dan ligamenta; sedangkan alat-alat traktus digestivus pada trauma tumpul biasanya terhindar. Diagnostik perdarahan pada trauma tumpul lebih sulit dibandingkan dengan trauma tajam, lebih-lebih pada taraf permulaan. Penting sekali untuk menentukan secepatnya, apakah ada perdarahan dan tindakan segera harus dilakukan untuk menghentikan perdarahan tersebut.
Sebagai contoh adalah trauma tumpul yang menimbulkan perdarahan dari limpa. Dalam taraf pertama darah akan berkumpul dalam sakus lienalis, sehingga tanda-tanda umum perangsangan peritoneal belum ada sama sekali. Dalam hal ini sebagai pedoman untuk menentukan limpa robek (ruptur lienalis) adalah :
Adanya bekas (jejas) trauma di daerah limpa
Gerakkan pernapasan di daerah epigastrium kiri berkurang
Nyeri tekan yang hebat di ruang interkostalis 9 - 10 garis aksiler depan kiri.

DIAGNOSTIK
Riwayat
Dapatkan keterangan mengenai perlukaannya, bila mungkin dari penderitanya sendiri, orang sekitar korban, pembawa ambulans, polisi, atau saksi-saksi lainnya, sesegera mungkin, bersamaan dengan usaha resusitasi.


Penemuan
Trauma tumpul pada abdomen secara tipikal menimbulkan rasa nyeri tekan, dan rigiditas otot, pada daerah terjadinya rembesan darah atau isi perut. Tanda-tanda ini dapat belum timbul hingga 12 jam atau lebih pasca trauma, sehingga kadanga-kadang diperlukan pengamatan yang terus-menerus yang lebih lama. Nyeri yang berasal dari otot dan tulang, mungkin malah tak terdapat tanda-tanda objektif yang dapat menunjukan perlukaan viseral yang luas. Fraktur pada iga bagian bawah sering kali menyertai perlukaan pada hati dan limpa. Pemeriksaan rektum secaga digital, dapat menimbulkan adanya darah pada feses

Test Laboratorium
Secara rutin, diperiksa hematokrit, hitung jenis leukosit, dan urinalisis, sedangkan test lainnya dilakukan bila diperlukan. Nilai-nilai amilase urine, dan serum dapat membantu untuk menentukan adanya perlukaan pankreas atau perforasi usus.

Foto Sinar X
Film polos abdomen dapat menunjukkan adanya udara bebas intraperitoneal, obliterasi bayangan psoas, dan penemuan-penemuan lainnya yang pada umunya tak khas. Fraktur prosesus transversalis menunjukan adanya trauma hebat, dan harus mengingatkan kita pada kemungkinan adanya perlukaan viseral yang hebat.
Film dada dapat menunjukkan adanya fraktur iga, hematotorak, pnemotorak, atau lainnya yang berhubungan dengan perlukaan thorak
Penderita dengan tauma tumpul sering memerlukan foto thorak sinar X tengkorak, pelvis, dan anggota gerak lainnya.
Studi kontras pada saluran kemih diperlukan bila terdapat hematuria.
Foto sinar X dengan kontras pada saluran pencernaan atas dan bawah, diperlukan pada kasus tertentu.
C.T Scan abdomen sangat membantu pada beberapa kasus, tetapi inibelim banyak dilakukan.
Angiografi dapat memecahkan teka-teki tantang perlukaan pada limpa, hati, dan pakreas. Pada kenyataanya, angiografi abdominal jarang dilakukan.

Test Khusus
Lavase peritoneal berguna untuk mengetahui adanya perdarahan intraabdomen pada suatu trauma tumpul, bila dengan pemeriksaan fisik dan radilogik, diagnosa masih diragukan. Test ini tak boleh dilakukan pada penderita yang tak kooperatif, melawan dan yang memerlukan operasi abdomen segera. Kandung kemih harus dikosongkan terlebih dahulu. Posisi panderita terlentang, kulit bagian bawah disiapkan dengan jodium tingtur dan infiltrasi anestesi lokal di garis tengah, diantara umbilikus dan pubis. Kemudian dibuat insisi kecil, kateter dialisa peritoneal dimasukkan ke dalam rongga peritoneal. Ini dapat dibantu/dipermudah oleh otot-otot
abdomen penderta sendiri, dengan jalan meikan kepala penderita. Kateter ini harus dipegang dengan kedua tangan, untuk mencegah tercebur secara acak ke dalam rongga abdomen.
Tehnik yang lebih aman adalah dengan membuat insisi sepanjang 1 cm pada fasia, dan kateter di masukkan ke dalam rongga peritoneal dengan pengamatan secara langsung. Pisau ditarik dan kateter dimasukkan secara hati-hati ke pelvis ke arah rongga sakrum. Adanya aliran darah secara spontan pada kateter menandakan adanya perdarahan secara positif. Tetapi ini jarang terjadi. Masukan 1000 cc larutan garam fisiologis ke dalam rongga peritoneal (jangan larutan dextrose), biarkan cairan ini turun sesuai dengan gaya grvitasi. Adanya perdarahan intraabdominal ditandai dengan warna merah seperti anggur atau adanya hematokrit 1% atau lebih pada cairan tersebut (cairan itu keluar kembali). Bila cairan tetap, bening atau hanya sedikit berubah merah tandanya negatif.

PENATALAKSANAAN
1. Segera dilakukan operasi untuk menghentikan perdarahan secepatnya. Jika penderita dalam keadaan syok tidak boleh dilakukan tindakan selain pemberantasan syok (operasi)
2. Pemberian antibiotika IV pada penderita trauma tembus atau pada trauma tumpul bila ada persangkaan perlukaan intestinal.
3. Luka tembus merupakan indikasi dilakukannya tindakan laparatomi eksplorasi bila ternyata peritonium robek. Luka karena benda tajam yang dangkal hendaknya diekplorasi dengan memakai anestesi lokal, bila rektus posterior tidak sobek, maka tidak diperlukan laparatomi.
4. Penderita dengan trauma tumpul yang terkesan adanya perdarahan hebat yang meragukan kestabilan sirkulasi atau ada tanda-tanda perlukaan abdomen lainnya memerlukan pembedahan.
5. Laparatomi
Prioritas utama adalah menghentikan perdarahan yang berlangsung. Gumpalan kassa dapat menghentikan perdarahan yang berasal dari daerah tertentu, tetapi yang lebih penting adalah menemukan sumber perdarahan itu sendiri
Kontaminasi lebih lanjut oleh isi usus harus dicegah dengan mengisolasikan bagian usus yang terperforasi tadi dengan mengklem segera mungkin setelah perdarahan teratasi.
Melalui ekplorasi yang seksama amati dan teliti seluruh alat-alat di dalamnya. Korban trauma tembus memerlukan pengamatan khusus terhadap adanya kemungkinan perlukaan pada pankreas dan duodenum.
Hematoma retroperitoneal yang tidak meluas atau berpulsasi tidak boleh dibuka.
Perlukaan khusus perlu diterapi
Rongga peritoneal harus dicuci dengan larutan garam fisiologis sebelum ditutup
Kulit dan lemak subcutan dibiarkan terbuka bila ditemukan kontaminasi fekal, penutupan primer yang terlambat akan terjadi dalam waktu 4 - 5 hari kemudian.


PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan aspek penting pada trauma abdomen karena trauma ini membutuhkan tindakan segera. Hal-hal yang dikaji meliputi : (Sorensen 1987)
1. Kumpulkan riwayat tentang kejadian trauma.
2. Kaji pasien terhadap tanda-tanda distensi abdomen lanjut. Adanya nyeri tekan, gerakan usus tak teratur, kaku otot., bunyi usus hilang, hipotensi dan syok.
3. Auskultasi bunyi usus, tidak adanya bunyi usus merupakan tanda terlibatnya intraperitoneal. Bila terdapat tanda-tanda iritasi peritoneal biasanya dilakukan ekploprasi celiotomy.
4. Catat semua keadaan fisik pasien seprti; pemeriksaan yang dilakukan.
5. Amati adanya cedera dada yang sering merupakan penyerta

DIAGNOSA KEPERAWATAN
Masalah yang timbul pada trauma abdomen sering merupakan masalah medis yang perlu penanganan segera seperti perdarahan,syok hipovolemik, potensial infeksi, dan tetanus.
Diagnosa keperawatan muncul terutama setelah akibat prosedur pembedahan abdominal yang dilakukan. Menurut Sparks 1991 diagnosa keperawatan pada pasien laparatomi meliputi :
Potensial infeksi sehubungan dengan adanya luka operasi
Potensial injuri sehubungan dengan gangguan aktifitas
Nyeri sehubungan dengan adanya luka operasi
Potensial kerusakan integritas kulit stoma sehubungan dengan perembesan sekresi cairan dari drainage.
Gangguan body image sehubungan dengan adanya kolostomy (stoma)

RENCANA TINDAKAN
Tujuan yang ingin dicapai adalah mengurangi penyulit seperti; perdarahan, mengenal tanda-tanda awal komplikasi dan mengatasi nyeri yang dialami pasien.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Theodore, R. Schrock, M.D, Ilmu Bedah, Penerbit Buku Kedokteran
Purnawan Junadi, et al , Kapita Selekta Kedokteran , edisi ke II , Media Aesculapius, FK-UI 1982.
Marylin Doenges, Nursing Care Plans,F.A Davis Company, Philadelpia, 1984

Asuhan Keperawatan Pasien Tonsilektomi

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN TONSILEKTOMI


A. PENGERTIAN
Tonsilektomi adalah mengeluarkan seluruh tonsil dengan pembedahan. (Kamus Kedokteran, 2000).

B. ETIOLOGI
Penyebab tonsilitis adalah virus dan bekteri sebagian besar disebabkan oleh virus yang merupakan juga faktor predisposisi dari infeksi bakterial.
Golongan Virus :
- Adenovirus
- Virus echo
- Virus influenza

Golongan Bakteri :
- Streptococcus
- Mycrococcus
- Corine bakterium diphterial

C. PATOFISIOLOGI
Pada waktu anak lahir belum mempunyai folikal dan biasanya berukuran kecil, dengan demikian habisnya material antibodi , maka secara berangsur terjadi pembesaran tonsil.
Pembesaran ini dapat melebihi normal, oleh karena infeksi saluran pernafasan berat. Pembesaran tonsil yang sampai menimbulkan gangguan serius biasanya terjadi pada anak berumur 3-5 tahun. Keadaan ini ditandai dengan gangguan bernafas atau gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi, karena usia tersebut mudah menderita infeksi saluran nafas atas. Apabila satu atau dua tonsil meradang membesar sampai ketengah uvofaring maka sebaiknya dilakukan tindakan pengangkatan tonsil atau disebut Tonsilektomi.
Derajat pembesaran tonsil :
a. Derajat I (Normal)
Tonsil berada dibelakang pilar tonsil (struktur lunak dipotong oleh palatina lunak).
b. Derajat II
Tonsil berada diantara pilar dan uvula.
c. Derajat III
Tonsil menyentuh uvula.
d. Derajat IV
Satu atau dua tonsil meluas ketengah uvofaring.
(Kozier,ERB Blains, Wilkinson,1992)

Pathway
Folikal

Maternal Antibody

Pembesaran Tonsil Tonsil Normal

Infeksi Saluran Nafas Berat

Gangguan Nafas/ Gangguan Menelan

Tonsilektomi

D. TANDA DAN GEJALA
Tanda dan gejala dari tonsilitis terbagi atas tonsilitis akut dan kronis. Kepekaan tonsil terhadap infeksi akut dapat meningkat apabila keadaan organisme dari luar berlebihan.
Tanda dan gejala tonsilitis akut :
1. Penderita terlihat seperti sakit demam.
2. Mengeluh sakit tenggorokan dan sakit menelan.
3. Tonsil hyperemia.
4. Kelenjar lymphe jugularis membesar dan nyeri bila diraba.
Setelah serangan tonsilitis akut jaringan tonsil biasanya dapat kembali normal tetapi ada juga yang tidak. Keadaan jaringan yang tidak normal ini merupakan terbentuknya abses-abses kecil dan folikal limphoid disekitar krypta dan dibatasi oleh jaringan ikat. Tonsil yang seperti ini dapat menimbulkan gejala infeksi berulang tiga sampai empat bulan sekali. Keadaan ini merupakan proses awal terjadinya tonsilitis kronis.
Tanda dan gejala tonsilitis kronis :
1. Tonsil hyperemia dan edema.
2. Kripta melebar dan tonsil berbenjol-benjol.
3. Suhu badan sub febris.
4. Penderita merasa tidak enak badan.

E. PROSEDUR DIAGNOSTIK
Untuk menegakkan diagnostik tonsilitis dapat digunakan dengan adanya gejala yang muncul seperti : demam, sulit menelan, tonsil tampak membesar dan hyperemia.
Diagnosa banding :
a. Infeksi mononuchosis
Untuk membedakannya dengan tonsilitis akut diperlukan pemeriksaan hitung jenis leucocyt.
b. Angina vincent
Menyebabkan ulsurasi yang luas di rongga mulut atau hanya terbatas disekitar tonsil. Penyakit ini dibedakan dari tonsilitis akut dengan pemeriksaan usap tenggorokan.
c. Agranusitosis
Penyakit ini menimbulkan ulsurasi yang dirongga mulut dan faring. Selain ulsurasi terjadi pengelupasan mukosa mulut, lidah dan tonsil, penderita dapat membantu menegakkan diagnosa.

F. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Golongan darah.
2. Kadar Hb.
3. Hitung Leukosit dan Hitung Jenis.
4. Penentuan kadar klorida keringat atau imunoglobulin serum  untuk mengevaluasi diagnosis banding medis yang mencakup fibrosis kistik atau imunodefisiensi.



G. INDIKASI
Sebelum tonsilektomi dilakukan ditemukannya indikasi seperti :
1. Tonsilitis akut residivan
Yaitu tonsilitis akut yang berulang-ulang 4-5 kali tiap tahun.
2. Tonsilitis kronis dengan eksasurbasi
Yaitu tonsilitis akut dengan keluhan ringan tapi terus menerus.
3. Abses Peritonsil/ Tonsilitis akut dengan komplikasi
Jika sudah pernah terjadi abses peritonsil maka kemungkinan untuk kambuh berulang-ulangnya dikemudian hari besar sekali. Pada abses peritonsil jaringan sekitar tonsil turut meradang sehingga perasaan sakit melebihi dari tonsilitis akut biasa.
4. Streptokok tonsilitis yang berulang
Infeksi kuman streptokok yang berulang dan tidak teratasi oleh berbagai antibiotik akan mengakibatkan terjadinya kerusakan yang besar pada jaringan tonsil. Akibatnya tonsil tidak lagi berfungsi sebagai alat penangkis kuman dan merupakan fokal infeksi yang tidak dapat dikontrol.
5. Tonsil palatina sebagai fokat infeksi demam rematik.
6. Tonsil palatina menjadi serangan kuman atau diptheria cariur, misal tonsilitis proso diphteria.
7. Tonsil Hipertropi sehingga timbul obstruksi mekanik
Adanya pembesaran tonsil yang sedemikian maka makan, minum bahkan bernafas terutama dimalam hari sudah terganggu. Jika tonsil hipertropi tidak segera diangkat maka komplikasi seperti faringitis, bronkitis sering terjadi dan sukat diatasi.
8. Otitis media purulen yang berulang.
9. Tonsil yang menunjukkan tanda maligna
Indikasi ini sangat definitif dan tonsilektomi harus dilakukan karena kalau tumor ganas masih bersifat insitu, tonsilektomi akan memberi hasil yang memuaskan tetapi bilamana tumos sudah menjalar ke daerah sekitar tonsil, maka tonsilektomi akan sia-sia, bahkan pembesaran tonsil unilateral yang luar biasa harus dicurigai kemungkinan terjadinya maligna.

H. KONTRAINDIKASI
1. Alergi yang mendasari. Tonsilektomi dapat memperburuk alergi pada beberapa pasien.
2. Pilek berulang dan masalah kesehatan menahun jarang karena “tonsil”.
3. Pasien dibawah umur 3 atau 4 tahun.
4. Tonsil besar tanpa gejala. Harus diingat bahwa tonsil cenderung membesar sampai sekitar umur 10-12 tahun, dan kemudian berinvolusio mantap.
5. Adenitis cervicalis tuberkulosis tidak lagi dianggap sebagai indikasi.
6. Demam reumatik dan nefritis bukan indikasi, kecuali bila terapi antibiotika intensif gagal menghilangkan streptokokus hemolitikus.
7. Desakan orang tua untuk tonsilektomi bukan merupakan suatu indikasi !

I. KOMPLIKASI
1. Perdarahan pasca tonsilektomy.
2. Menyebabkan hypertropi.
3. Atelektase.
4. Bronkhitis.
5. Pneumonia.
6. Abses paru.

J. TREATMENT
Metode Tonsilektomi yaitu :
1. Guillotine Tonsilektomi/Sluder.
Biasanya dilakukan pada jaringan tonsil yang diduga hubungannya dengan jaringan sekitarnya masih longgar, misal pada anak. Dengan metode ini operasi lebih cepat dan jaringan tonsil dapat diangkat seluruhnya dengan menimbulkan manipulasi yang tidak begitu banyak. Perdarahan yang terjadi lebih sedikit dibanding dengan metode Diseksi.
2. Diseksi Tonsilektomi
Pada Diseksi jaringan tonsil dipisahkan dari daerah sekitarnya satu per satu. Tonsilektomi secara Diseksi ini umumnya dilakukan pada penderita dengan dugaan jaringan tonsil sudah mengadakan perlengketan dengan jaringan sekitarnya sehingga kalau dilaksanakan metode Guillotine, maka jaringan tonsil tidak akan dapat diangkat sebersih mungkin.

Pengobatan yang diberikan setelah tonsilektomy.
1. Diberikan cairan IV selama 24 jam untuk menghindari dehidrasi.
2. Diberikan 1,5 mg Kodein Fosfat/Kg BB setiap 3 jam untuk mengatasi nyeri.
KONSEP KEPERAWATAN


A. PENGKAJIAN
- Kaji kesulitan menelan, mudah tersedak.
- Kaji sakit tenggorokan akut/kronis.
- Kaji riwayat sakit tenggorokan dan influenza.
- Kaji riwayat alergi.
- Kaji adanya perdarahan per oral.
- Kaji adanya penyakit asma, fibrosis kistik.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko tinggi terhadap komplikasi infeksi berhubungan dengan faktor pembedahan.
2. Nyeri berhubungan dengan pembedahan.
3. Resiko terhadap kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan penurunan masukan cairan sekunder terhadap nyeri saat menelan.
4. Resiko terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan masukan sekunder terhadap nyeri saat menelan.
5. Resiko terhadap ketidakefektifan penatalaksanaan terapeutik yang berhubungan dengan ketidakcukupan pengetahuan tentang komplikasi, nyeri, pengaturan posisi dan penatalaksanaan aktifitas.

C. RENCANA INTERVENSI
1. Resiko tinggi terhadap komplikasi infeksi berhubungan dengan faktor pembedahan.
Tujuan :
- Tidak ada infeksi.
- Tidak ada komplikasi.
Intervensi :
- Pantau suhu badan tiap 4 jam, keadaan luka ketika melakukan perawatan.
- Berikan antibiotik yang diresepkan, berikan paling sedikit 2 liter cairan setiap hari ketika melaksanakan terapi antibiotik.
- Berikan antipiretik yang ditentukan jika terdapat demam.

2. Nyeri berhubungan dengan pembedahan.
Tujuan :
- Klien menyatakan nyeri hilang / terkontrol.
- Klien menunjukkan rileks, istirajat / tidur dan peningkatan aktifitas dengan tepat.
Intervensi :
- Pantau TTV.
- Berikan tindakan kenyamanan, misal : perubahan posisi, musik, relaksasi.
- Jika diresepkan analgesik IV, aturlah analgesik secara rutin selama 24 jam pertama, tidak menunggu pasien memintanya.
- Beritahu dokter jika analgesik tidak dapat menghilangkan sakit.
3. Resiko terhadap kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan penurunan masukan cairan sekunder terhadap nyeri saat menelan.
Tujuan :
- Klien dapat meningkatkan masukan cairan minimal 2000 ml.
- Memberitahu perlunya untuk meningkatkan masukan cairan selama stress atau panas.
- Memperlihatkan tidak adanya tanda dan gejala dehidrasi.
Intervensi :
- Kaji perubahan TTV, contoh peningkatan suhu tubuh / demam memanjang, takikardi, hipotensi artostatik.
- Kaji turgor kulit, kelembapan membran mukosa.
- Pantau masukan dan keluaran, catat warna, karakter, urine. Hitung keseimbangan cairan , waspadai kehilangan yang tak tampak , ukur BB sesuai indikasi.
- Catat laporan mual/muntah.
4. Resiko terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan masukan sekunder terhadap nyeri saat menelan.
Tujuan :
- Klien menunjukkan peningkatan nafsu makan.
- Klien dapat mempertahankan / meningkatkan berat badan.
Intervensi :
- Berikan makan porsi kecil dan sering atau makanan yang menarik pasien.
- Monitor status nutrisi umum, ukur berat badan dasar.
- Observasi distensi abdomen.
- Atur rencana perawatan untuk mengurangi atau menghilangkan bau yang menyebabkan ingin muntah atau prosedur yang dilakukan mendekati waktu makan.
5. Resiko terhadap ketidakefektifan penatalaksanaan terapeutik yang berhubungan dengan ketidakcukupan pengetahuan tentang komplikasi, nyeri, pengaturan posisi dan penatalaksanaan aktifitas.
Tujuan :
- Klien dapat menggambarkan proses penyakit, penyebab-penyebab dan faktor penunjang pada gejala dan aturan untuk penyakit atau kontrol gejala.
- Klien dapat mengungkapkan maksud untuk melakukan perilaku kesehatan yang diperlukan atau keinginan untuk pulih dari penyakit dan pencegahan kekambuhan atau komplikasi.
Intervensi :
- Diskusikan aspek ketidakmampuan dari penyakit, lamanya penyembuhan dan harapan kesembuhan, identifikasi perawatan diri dan kebutuhan/sumber pemeliharaan rumah.
- Berikan informasi dalam bentuk tertulis dan verbal.
- Tekankan perlunya melanjutkan terapi antibiotik selama periode yang dianjurkan.
- Tekankan pentingnya melanjutkan evaluasi medik dan vaksin/imunisasi dengan tepat.
- Identifikasi tanda/gejala yang memerlukan pelaporan pemberian perawatan kesehatan, misal : kehilangan BB, demam.




DAFTAR PUSTAKA


Rizal Basjrah. Dr. (1986). Faringologi. Penerbit Alumni : Bandung

Catzel, Pincus. (1992). Kapita Selekta Pediatri. EGC : Jakarta.

Cody,D.dan Thane R. (1993). Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan. EGC : Jakarta

Behrman, Richard E. (1995). Ilmu Kesehatan Anak. EGC : Jakarta

Doengoes, Marilynn. E,.(1999). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC : Jakarta

Lynda Juall Carpenito. (2000). Diagnosa Keperawatan. Edisi VIII. EGC : Jakarta
Photobucket